September 1995, saya mulai bekerja di sebuah proyek
pabrik di Padalarang. (cerita lengkapnya ada di http://ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/merangkak-meniti-karier.html)
Di proyek ini saya berkenalan dengan seorang manager dari sub-kontraktor,
Pak SK.
Bulan demi bulan berada di proyek
yang sama, makan siang bareng, pulang bareng, akhirnya kami lebih dekat
dibanding dengan karyawan lain. Status pun berubah dari rekan kerja, menjadi
.... kakak adik ketemu gede? (karena dia orang
Batam yang sebatang kara di pulau Jawa dan tidak punya adik perempuan,
sedangkan saya anak sulung).
Sepertinya, itu hanya
"status-statusan", karena kenyataannya kami
sering jalan-jalan bareng, nonton bioskop bareng, malam mingguan, ... lebih
cocok disebut pacaran tanpa kontak fisik,
kali ya?
Sampai suatu hari di awal 1996, dia di-telepon
kakak dan Mamak-nya, diingatkan untuk segera menikah karena Juni tahun ini
umurnya sudah 30 tahun. Jangan ditunda-tunda terus karena adik lelakinya sudah
punya 2 orang anak yang sudah bersekolah. Telepon itu memberi dia “wake-up call” untuk segera memikirkan
sebuah rumah tangga, memiliki anak-istri.
Sayangnya, dia tidak bisa mendapat
penyesuaian gaji jika tetap bekerja di Bandung, oleh karena itu Pak SK pindah kerja ke Jakarta mulai April 1996, “mengejar
impian baru”nya.
Saat hari wisuda tiba, Mei 1996,
Koko SK (sekarang sudah tidak dipanggil Pak, karena kami sudah tidak bekerja di
tempat yang sama) sengaja datang dari Jakarta dan menemani saya juga mami
menghadiri acara tersebut. Sesudah acara wisuda selesai, Koko menyampaikan
rencananya untuk melamar (lho....katanya kakak adik ketemu gede? ) dan ternyata
.... tidak direstui !
Mami berkata bahwa saya tidak cocok untuk Pak SK ... selain
perbedaan umur 6,5 tahun, perbedaan karakter, mami tidak rela punya menantu
"orang jauh". Mami lebih suka punya menantu orang Bandung dan
sekitarnya, supaya tetap bisa dekat. Kalau punya menantu orang jauh, kuatir
anaknya akan terlantar, tidak ada yang bisa menolong jika terjadi hal-hal
buruk!
Selain itu, menurut mami, saya masih terlalu muda untuk menikah. Idealnya
25 tahunlah. Masa depan anaknya baru saja dimulai, baru menjadi karyawati,
baru mulai punya penghasilan, belum membahagiakan orang tuanya!
Wow ... padahal sudah berbulan-bulan ini Koko SK sering datang ke rumah, sering bertemu dan ngobrol dengan mami. Sepertinya, selalu mendapat tanggapan positif, tetapi ternyata ... jawaban mami "tidak seperti yang diharapkan"!
Meskipun kecewa... Koko SK “bisa mengerti” (apa benar-benar dia mengerti ... ngga tahu juga)
Ia menduga mami kena "daughter
loss syndrome" mirip-mirip "loss power syndrome"
kali.
Jadi ....Koko SK tidak
mendebatnya!
Yang ia lakukan adalah tetap
datang dari Jakarta ke Bandung setiap weekend,
meskipun itu berarti 8 – 9 jam perjalanan pulang pergi. (Saat itu hanya ada
jalan toll Jakarta - Cikampek, keluar di pintu tol Sadang, karena belum ada
jalan toll Purwakarta - Padalarang).
Karena dia tidak punya saudara di Bandung, maka pada Sabtu malam, dia akan menginap di hotel melati, yang hanya ada kipas angin, tanpa AC, kadang dengan kamar mandi di luar kamar, yang berlokasi dekat dengan rumah kami. Dia jelaskan kepada kami bahwa dia sengaja cari kamar murah, supaya tetap bisa menabung untuk membeli tiket pesawat bagi keluarganya di Batam untuk datang ke Bandung saat lamaran nanti. Wah .. wah ... PD banget, ya!
Pada minggu sore, dia akan menumpang tidur di lantai, dengan wajah yang terlihat lelah karena kemarin baru menempuh perjalanan Jakarta - Bandung. Beberapa jam lagi, dia akan balik ke Jakarta, kembali bekerja senin pagi.
Ia pun tetap memperlakukan mami, papi dan adik-adik saya dengan baik.
Setiap mami ada perlu keluar rumah, maka Koko SK akan menawarkan diri “menjadi
supir”.
Di dalam acara keluarga besar, Koko aktif memperkenalkan diri ... ngobrol sana ngobrol sini ... gendong-gendong anak kecil ... dan anehnya, hampir semua anak kecil bisa cocok dengan dia, mau digendong ...bisa diajak tertawa ...(mirip marketing lagi promosi diri "kebapakan", he he he).
Hal lain, Koko mengingatkan saya
untuk menjadi anak yang berbakti, sebisa mungkin memberi apa yang mami butuhkan. Dengan gaji Rp 700.000 /
bulan, saya tetap menabung dan membelikan mami pakaian, sepatu, TV, mesin cuci, kulkas, sofa, dan lain-lain.
Kami berusaha membuktikan bahwa
"kehadiran calon pasangan hidup" tidak selalu berarti "berakhirnya hubungan orang tua -anak".
Bahwa ... "cinta anak kepada orang tua" akan tetap ada, bisa paralel dengan "cinta kepada keluarga baru".
Akhirnya ... mami memberi ijin Koko SK untuk membawa keluarganya melamar di Desember 1996.
cerita berlanjut ke www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/lamaran-sederhana.html
cerita berlanjut ke www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/lamaran-sederhana.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar