Rabu, 29 Maret 2017

LAMARAN SEDERHANA

Menjelang hari lamaran, kami sibuk berbenah dan "menyulap" warung tempat kami tinggal.
Dinding bagian luar yang terbuat dari papan-papan yang disusun tegak dan berjajar, sekarang ditutup dengan vitrage dan gordyn. Begitu juga lantai papan ditutup dengan plastik vinyl yang dibeli di pasar Kosambi. Langit-langit dibiarkan apa adanya, dengan harapan keluarga Pelamar yang datang tidak terlalu memperhatikan bagian atas.

Pada hari H, akhir Desember 1996, keluarga Koko SK dari Batam (Mamak dan ketiga saudara perempuan seumuran Mamak) datang dengan pesawat terbang ke Jakarta dan lanjut dengan perjalanan menggunakan mobil kantor ke Bandung. Bapak tidak bisa ikut karena Beliau sudah beberapa tahun ini terkena stroke.
Ternyata para sepuh ini tidak bisa berbahasa Indonesia.


Mamak hanya bisa berbahasa Melayu dan bahasa Khe (ini bahasa daerah, salah satu suku dari bangsa China). Untungnya ayah saya bisa berbahasa Khe, meskipun sudah banyak kosa kata yang lupa ….jadi deh … percakapannya campur aduk bahasa Melayu dan bahasa Khe. 
Kalau saja saat itu sudah ada acara TV "Upin Ipin"  setidaknya kami bisa lebih mengerti apa yang mereka katakan.
Mami dan saya yang hanya bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Sunda, cuma manggut-manggut dan senyam-senyum. Tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan, beberapa bisa ditebak-tebak, tetapi niat acaranya jelas … hari ini ada lamaran, ditandari dengan tukar cincin, lalu menghitung hari baik untuk menikah (menurut saya sih … setiap hari sebenarnya baik … tetapi tidak ada salahnya untuk menuruti apa yang diinginkan calon mertua, bukan?).

Ternyata, menurut perhitungan “orang ahli berhitung hari baik” yang Mamak bawa, saya dan Koko yang berbeda usia 6 tahun sebenarnya ciong (bertentangan, tidak cocok). Yang satu shio Kuda, yang satu shio Tikus (he he he ... padahal kami 100% manusia, anak-anak muda yang tidak percaya hal-hal seperti itu)
Jika diumpamakan arah mata angin, yang satu mengarah ke utara, yang lain ke selatan.
Dan ciong ini bisa dinetralkan dengan kehadiran anak ber-shio Macan (dilahirkan sesudah Februari 1998) atau bershio Monyet (dilahirkan Februari-Desember 2004). Semakin jauh dari bulan Februari semakin baik, supaya pengaruh shio dari tahun sebelumnya berkurang.
Kalau nikah terlalu cepat, kami berpotensi dapat “anak shio kerbau” atau “anak macan di bawah pengaruh kerbau”  Ck...ck ..ck … repotnya!
Berarti pernikahannya harus sesudah pertengahan 1997 supaya dapat “anak yang benar-benar (ber-shio) macan”.
Hm … siapa yang bisa yakin … bisa langsung hamil segera setelah menikah?
Kalau ternyata hamilnya terlambat, dan tahun (dengan shio) macan keburu berlalu… bagaimana?
Masak ya dipaksa lahir premature supaya tetap dapat “anak (ber-shio)  macan”.
By the way … acara tetap ditutup dengan makan bersama.

Setelah acara selesai, mereka dan saya langsung berangkat ke Cipanas – Garut.
Di sana terkenal dengan tempat pemandian air panas alam, ada banyak hotel dan motel.
Cocok banget untuk menyembuhkan encok, rematik, pegal-pegal ataupun hanya berendam.
Kami berenam mengambil 2 kamar untuk 1 malam saja.

Keesokan harinya, kami jalan-jalan ke kawah Tangkuban Perahu, lalu pulangnya mampir belanja oleh-oleh di factory outlet di sepanjang jalan Cihampelas. Koko menjadi penterjemah, komentator pilihan warna dan gaya, terakhir jadi penawar harga. Saya sih ngekor saja, tidak ikutan belanja. 
Sorenya mereka pulang ke Jakarta untuk terbang kembali ke Batam.

Sampai bertemu di acara pernikahan nanti, sekitar November 1997 di Bandung.

Cerita berlanjut ke
 www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/sering-bertengkar-menjelang-pernikahan.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar